Afrika Selatan, itu sebenarnya sebuah momen yang istimewa. Para pemimpin
dunia, politisi, selebritas dan orang biasa berkumpul di sebuah stadion
untuk memberi penghormatan terakhir kepada
Nelson Rolihlahla Mandela
yang meninggal pekan lalu.
Ada banyak eulogi dibacakan, kenangan
diapungkan dan doa didaraskan. Tapi mendadak semuanya seperti ditepikan
akibat serangkaian kejadian yang melibatkan, salah satunya, Barack
Obama. Media ‘memaksa’ agar hal-hal penting dan substansial memberi
jalan kepada sesuatu yang sensasional.
Dalam acara itu, Obama
menjadi pusat perhatian karena ia tertangkap kamera tengah berfoto
selfie. Dia tak sendiri karena dia bersama dengan PM Inggris David
Cameron (hei, mereka dua dari lima pemimpin negara pemilik hak veto di
Dewan Keamanan PBB) yang mengapit seorang perempuan, PM Denmark Helle
Thorning-Schmidt. Yang makin menambah bumbu dari foto ini adalah
ekspresi istri Obama, Michelle (duduk jauh di kiri Obama) yang tak bisa
disebut senang.
Selfie.
Kata ini
baru saja dinobatkan oleh Oxford Dictionary sebagai Word of the Year
tahun 2013. Kata ini masih hijau karena baru muncul di era smartphone,
namun popularitasnya meroket karena sukses mengeksploitasi sisi
narsistik seorang manusia.
Lihatlah betapa dunia waktu itu terkaget-kaget ketika Paus Fransiskus menuruti permintaan umatnya yang masih belia-belia untuk
berfoto selfie.
Perhatikan anak-anak muda itu. Mereka, generasi Y yang terlahir di era
komputer dan media sosial, sangat cair dalam mengaktualisasikan fitur
teknologi yang ‘gue banget’ di banyak tempat, tak terkecuali di Vatikan.
Apakah salah sikap seperti itu? Bagaimana dengan
selfie yang dilakukan Obama, Cameron dan Thorning-Schmidt? Mereka yang mengkritik bilang bahwa di
tempat dan suasana tertentu, sebaiknya jangan melakukan selfie.
Peringatan
tersebut sangat masuk akal. Bagaimanapun, narsis juga ada batasnya. Di
tempat dan waktu yang tak tepat, selfie bisa jadi tak pantas. Yang
barangkali dilupakan oleh mereka yang mengkritik selfie Obama adalah
konteks. Konteks di balik sebuah foto tentu bisa menjadi panduan dalam
mencari makna.
Mari kita simak
apa kata fotografer yang
memotret kejadian tersebut. Tulisan Roberto Schmidt memberi penjelasan
kepada publik bahwa acara penghormatan Mandela di Soweto tersebut
bukanlah acara layat atau pemakaman. Orang-orang berdansa dan menari,
mereka mengenang apa yang telah dilakukan pemimpin yang mereka cintai
selama hidup. Mereka merayakan hidup Mandela; merayakan apa yang telah
ia buat demi kesetaraan warna kulit di negaranya dan yang lebih besar,
yang telah ia buat demi kemanusiaan.
Bagaimanapun, Obama, Cameron
dan Thorsten-Schmidt adalah manusia biasa. Mereka bisa merasa bosan
(acara tersebut berlangsung sekitar 4 jam) dan jenuh. Untuk
mengatasinya, tak ada salahnya mengambil satu dua frame dengan kamera
depan, kan?
Para pemimpin dunia itu memperlihatkan bahwa mereka
juga manusia. Atau dalam kasus Paus, dia seperti tengah mengirim pesan
bahwa seorang pemuka agama harus dekat dengan umatnya, bukan jadi
pendeta yang tidak membumi dan cuma mau berakrab-akrab dengan Sang
Pencipta semata.
Tak ada ruginya menjadi orang penting yang
natural dan tidak jaim (jaga image). Meski tetap saja, publik tentu
berharap mereka menyadari batasannya. Rakyat Amerika tentu tak mau kan
melihat Obama ber-selfie saat upacara 4 Juli. Juga kita tentu tidak mau
Presiden SBY bakal berfoto-foto narsis saat upacara 17 Agustusan kan?